LURIK, DARI MASA KE MASA
LURIK, DARI MASA KE MASA
Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garis-garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000).
Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata “rik” yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.
Dari berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.
Tidak hanya berupa garis, motif kain lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang merupakan perpaduan dua garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan berbagai warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan. Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa:
"Sifat lurik yaitu: bahannya dari katun, gambar garis, tetapi kadang bikin kotak-kotak, ataupun polos. Meskipun polos, namanya tetap lurik."
Nilai Kehidupan
Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreatifitas tersebut merupakan bagian yang penting dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia bisa menciptakan pakaian yang dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain dan kain dijahit menjadi pakaian.
Seni memiliki tujuan praktis, tujuan praktis ini merupakan manfaat yang diperoleh secara langsung bagi penggunanya. Tujuan praktis dari pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari hawa dingin, gigitan serangga, terik matahari dan berbagai gangguan lainnya. Selain itu seni memiliki fungsi sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat kebiasaan dan nilai-nilai budaya (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian, seperti dalam penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya yang akan disampaikan dan untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.
Pada suatu masyarakat tradisional, selain memiliki manfaat, pakaian seringkali memiliki fungsi lain seperti fungsi ritual keagamaan. Pada motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai, harapan, dan sebagainya. Maupun fugsi simbolis, misalnya orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi berbeda pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, pakaian yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa.
Sesuai dengan keanekaragaman umat manusia, pakaian yang digunakan juga bermacam-macam dan bervariasi. Pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya seperti yang terdapat pada kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia, pakaian yang digunakan menunjukkan identitas dari suatu suku bangsa. Dalam hal ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai suatu benda materi yang hanya dipakai tanpa memiliki arti apapun. Kain lurik misalnya, merupakan suatu simbol karena ia memiliki makna. Makna-makna tersebut merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi dapat dilihat melalui penafsiran maupun pemahaman yang kemudian ditata sedemikian rupa. Simbol merupakan segala sesuatu (benda, peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya) yang telah ditempeli arti tertentu. Simbol bukan milik individu, namun milik suatu kelompok masyarakat yang memiliki sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kebiasaan serta norma perilaku yang sama, yang diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia yang terwujud dalam benda-benda budaya.
Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan yang mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.
Manusia tidak dapat terlepas dari simbol, karena manusia adalah mahluk yang terjerat dalam jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di setiap waktu dan disegala tempat, manusia selalu berhubungan dengan simbol atau lambang karena berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis (Herusatoto: 1987). Menurut Ernst Cassirer (1944) manusia tidak dapat melihat, menemukan, dan mengenai dunia secara langsung tetapi melalui berbagai simbol. Simbol yang terwujud dalam benda-benda budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Melalui kain lurik ini terdapat pesan, nasihat dan panduan hidup yang disampaikan dan diharapkan nantinya dapat terus diteruskan ke generasi selanjutnya.
Sejarah Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).
Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasa antar keduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.
Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbuat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun bendho ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.
Artikel diambil dari “Lurik, Dari Masa ke Masa”
Majalah ARTISTA No. 1 & 2 Vol. 10 Thn. 2007
Ditulis oleh : Feti Anggraeni, S.Ant,
Instruktur, pemerhati, dan pengkaji tekstil
Technoart Park PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
Majalah ARTISTA No. 1 & 2 Vol. 10 Thn. 2007
Ditulis oleh : Feti Anggraeni, S.Ant,
Instruktur, pemerhati, dan pengkaji tekstil
Technoart Park PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta
0 Response to "LURIK, DARI MASA KE MASA"
Posting Komentar